Minggu, 13 Mei 2012

Cinta Pertama dan Terakhir Bunda

Cinta Pertama dan Terakhir Bunda


 Ayah adalah cinta pertama dan cinta terakhir bunda. Mereka mengarungi hidup bersama hingga ajal memisahkan mereka. Di mataku, mereka adalah pasangan sejati. Dalam kehidupan rumah tangga, rasanya mustahil suami dan istri tidak pernah bertengkar. Tetapi aku belum pernah melihat sekalipun ayah dan bunda berselisih paham di depan anak-anaknya.

“Menikah dengan ayahmu adalah suatu anugrah yang tak ternilai buat bunda,” kata bunda, ketika aku berziarah ke makam ayah bersama bunda dan adikku beberapa waktu yang lalu. Tak terasa dua buah aliran sungai mengalir di pipiku, di tengah teriknya matahari siang di pemakaman umum di Bogor.
Saat ayah menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit, kulihat bunda begitu tegar dan tabah. Hanya pandangan matanya yang kosong dan nanar. Bunda tidak menitikan air mata. Beliau berusaha menenangkan aku yang menangis dan adikku yang tampak histeris.
Aku menangis tersedu-sedu dan pingsan di rumah sakit. Aku belum dapat menerima kepergiaan ayah yang mendadak, setelah sempat dirawat selama sepekan. Aku sempat protes kepada Tuhan. Mengapa Tuhan harus mengambil nyawa ayahku? Mengapa ayah harus pergi untuk selamanya? Dan berbagai pertanyaan lainnya seputar kepergiaan ayahku yang begitu mendadak.
Pada suatu dini hari, seminggu setelah kepulangan ayah ke rumah Tuhan. Aku tak sengaja melihat bunda termenung duduk di sofa, memandangi foto pernikahan mereka sambil menghapus air mata. Barulah aku menyadari, kalau bunda sangat terpukul atas kepergiaan ayah yang begitu mendadak. Ayah pergi tanpa meninggalkan pesan terakhir kepada bunda, setelah koma selama dua hari di rumah sakit.
Selama lebih dari dua puluh tahun, ayah dan bunda mengarungi biduk rumah tangga bersama. Begitu banyak kenangan indah yang mereka lalui. Segala suka dan duka dalam membangun kehidupan berumah tangga.
Lamuanku melayang pada masa kecilku ketika adikku belum lahir. Aku selalu diajak oleh bunda menemani aktivitasnya. Keluarga kami tidak mempunyai pembantu, jadi aku selalu selalu ikut bunda. Bundaku pintar memasak, dari aneka masakan dari yang sederhana hingga kue tart yang menurutku cukup rumit. Masakan bunda selalu pas di lidahku.
Bunda juga pandai menjahit baju. Ketika adikku belum lahir, bunda menerima jahitan baju dari tetangga untuk membantu ekonomi keluarga yang ketika itu sangat sulit. Aku sering memakai busana kembaran dengan bunda, motif sama tetapi modelnya berbeda.
Ketika malam tiba, bunyi mesin jahit menjadi nyanyian pengantar tidurku. Bunda juga belajar membuat jas, kemeja, dan celana pria. Hampir semua peserta kursus menjahit adalah pria. Bunda membuat pola dan menjahit kemeja pria. Aku menunggu bunda sambil membaca buku cerita atau bermain dengan anak-anak di sekitar tempat kursus menjahit tersebut.
Bunda juga mahir menggunting rambut. Beliau dapat mengeriting rambutnya sendiri dengan bantuan kaca. Di halaman rumah kami yang mungil, bunda juga senang menanam aneka tanaman hias, bunga melati, sri rejeki, daun pandan, daun suci hingga lidah buaya, yang konon dapat menyuburkan rambut.
Kelahiran adikku yang berpaut usia enam tahun sangat menyita waktu bunda. Apalagi adik sewaktu kecil termasuk rewel dan susah makan. Aku lebih dekat dengan ayah. Ketika aku memasuki usia sekolah hingga kelas lima SD, aku tinggal di rumah nenek hingga malam hari. (Baca: Air Mata Papa)
http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/8/2326/air_mata_papa
Ketika memasuki usia remaja, aku sempat kecewa kepada bunda. Betapa tidak, aku bergegas pulang ke rumah, membawa kabar gembira bahwa aku mendapat peringkat terbaik di sekolah. Tetapi, bunda hanya berkata, “Bagus, tingkatkan prestasimu”. Beliau hanya melihat nilai-nilai di raporku secara sepintas, sementara ayah memperhatikan nilai raporku dengan rinci disertai pujian sambil membelai kepalaku.
Semasa remaja, aku merasa bunda lebih sayang kepada adikku. Sehari sebelum mengambil rapor adikku, bunda terlihat begitu cemas, kuatir kalau adikku tidak naik kelas. Ya, sewaktu duduk di sekolah dasar, nilai rapor adikku tidak sebaik nilai raporku.
Akhirnya aku mengerti. Bukannya bunda tidak sayang kepadaku. Menurutnya, nilai raporku sudah cukup baik karena itu beliau lebih baik mencurahkan perhatian kepada nilai adikku yang kurang baik. Aku dan adikku, selama sekolah, tidak pernah tinggal kelas. Nilai rapor kami juga tidak pernah merah.
Bunda yang lulusan sekolah menengah atas, disamping cekatan mengurus rumah tangga, juga pandai mengatur keuangan keluarga. Sepeninggal ayah, atas saran dari pamanku, bunda membeli beberapa kios untuk disewakan. Dana hasil sewa kios ini sangat membantu ekonomi keluarga kami. Namun demikian, bunda tetap melanjutkan usaha ayah hingga adikku bekerja.
Bunda adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga besar bunda. Bunda anak kesayangan dari kakek dan nenek. Bunda memilih menikah dengan ayah, seorang pemuda sederhana yang berprofesi guru. Menurut cerita nenek, ada pemuda lain yang lebih mapan tetapi bunda malah memilih ayah. Mereka mengarungi hidup bersama dari titik nol, berusaha bersama, saling bahu-membahu membesarkan dua buah hati mereka dengan penuh kasih sayang dan cinta.
Sepeninggal ayah, aku baru menyadari kalau bunda sangat tegar dan tabah menjadi single parent. Bunda mengurus kedua anaknya, meneruskan usaha ayah tanpa mengeluh, dan membiayai biaya sekolah adikku hingga lulus kuliah.
Menurut cerita bunda, hal yang paling membahagiakan ayah dan bunda adalah ketika lahirnya buah hati mereka. Mereka juga bangga saat aku dapat menyelesaikan kuliah dan diwisuda, saat aku diterima bekerja, sebelum lulus kuliah, dan beberapa suka cita dan kenangan indah bersama ayah, yang ingin disimpan sendiri oleh bunda.
Perjalanan hidup ayah dan bunda tidak semulus jalan tol. Banyak kerikil-kerikil kecil yang memberi warna. Betapa paniknya keluarga kami, saat aku duduk di sekolah dasar, rumah tetangga kami kebakaran, tepat di sebelah rumah kami. Untungnya, api tidak menjalar ke rumah kami.
Saat bunda kehilangan seorang buah hatinya, adik bungsuku. Bunda harus berjuang antara hidup dan mati, melahirkan anak yang ketiga. Bunda harus merelakan anak yang dikandungnya selama sembilan bulan pergi, sebelum sempat dirawat bunda. Kondisi ekonomi keluarga kami sangat terpuruk karena sekolah tempat ayah mengajar akan dibangun pusat perbelanjaan dan berbagai kisah duka lainnya.
Dari luar bunda memang terlihat tegar. Bunda berusaha tidak menangis dan mengeluh di hadapan anak-anaknya. Tetapi setahun setelah ayah berpulang, bunda sempat dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Menurut diagnosa dokter, bunda mengalami shock atas kepergian ayah yang sangat mendadak. Beban yang harus dipikul bunda terlalu berat. Ketika itu, adikku masih membutuhkan biaya yang cukup banyak untuk sekolah.
Aku bersyukur kepada Tuhan. Setelah dirawat beberapa hari, bunda sehat kembali. Sejak saat itu, aku dan adikku bertekad untuk membahagiakan bunda, membantu bunda untuk dapat menerima kepergian ayah dengan ikhlas dan tidak mengecewakan bunda.
Sejuta doa aku panjatkan kepada Tuhan agar bunda diberikan kesehatan, panjang umur dan bahagia.
Bunda, aku cinta dan sayang padamu. Aku selalu ingin melihatmu bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar